Senin, 20 Desember 2010

Jambi Gagal Menjadi Percontohan REDD Norwegia


MEDIAJAMBI—Provinsi Jambi diperkirakan gagal memperoleh dana untuk menjadi percontohan skema perdagangan karbon (REDD) dari Pemerintah Norwegia. Setelah empat dari sepuluh syarat yang harus dipenuhi, tidak bisa terlaksana. Saat ini, Pemprov melalui Pemerintah Pusat justru gencar mengajukan proposal dana REDD dari Australia melalui Program Sumatra Forest Carbon Partnership.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi, Ahmad Fauzie mengatakan, Provinsi Jambi gagal memperoleh dana dari Pemerintah Norwegia untuk pendanaan pilot project skema perdagangan karbon. “Empat dari sepuluh syarat minimal yang harus dipenuhi Provinsi tidak terlaksana,” ujarnya.

Fauzi mengaku, cukup berat menjadikan Jambi provinsi percontohan. Apalagi persaingan Jambi dengan delapan provinsi lain. Secara fisik, kualitas hutan di beberapa daerah lebih luas dan bagus dibanding Jambi.

Sembilan provinsi yang tengah bersaing meliputi Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua dan Papua Barat. Kesembilan provinsi ini sebelumnya sudah mengajukan proposal untuk meminta pendanaan kepada negara pendonor, sesuai tatanan nasional untuk pengurangan emisi karbon.

Direktur CAPPA, Rivani Noor menyatakan pesimis keempat syarat minimal dapat dipenuhi Pemprov Jambi. Mengingat banyaknya persoalan di Provinsi Jambi menyangkut kelembagaan pemerintah dan tantangan masyarakat.

Syarat Governansi menyangkut tata kelola pemerintah misalnya, tidak boleh terjadi tumpang tindih izin di Provinsi Jambi. Tata ruang provinsi, harus bisa memberi kepastian hukum bagi masyarakat dan korporasi hidup berdampingan. Dalam beberapa kebijakan yang dikeluarkan, apakah justru melahirkan konflik atau tidak disamping kelembagaan yang kredibel untuk mengurus skema perdagangan karbon. Seperti Satgas REDD yang sudah terbentuk secara nasional.

“Ini syarat pertama yang harus dipenuhi. Apakah bisa terlaksana di Jambi,” tanya Rivani. Syarat kedua, menyangkut MRV (Measurable, Reportable dan Verivable). Potensi karbon di Jambi harus terukur, mampu dilaporkan bahkan di cek ulang, serta memiliki data base yang baik untuk dilaporkan secara periodik.

Sedangkan syarat ketiga, terkait biofisik yaitu bentangan hutan, tegakan pohon dan sebagainya. “Syarat keempat, Sosial ekonomi masyarakat. Bagaimana penguatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan, kewaspadaan dini, daya adaptasi masayrakat dengan cepat serta kebijakan di tingkat lokal. Anda lihat sendirilah, apakah ini sudah terjadi,” ujar Rivani.

Berdasarkan Copy proposal yang diperoleh Media Jambi, Pemprov Jambi justru intens dalam Program Sumatra Forest Carbon Partnersip. Kerjasama antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk mengelola bersama kawasan hutan produksi. Serta menyiapkan DA REDD+ di kabupaten Merangin dan Sarolangun seluas 60.000 ha.

Pemerintah Provinsi, bahkan sudah menetapkan pendekatan yang jelas dengan menetapkan aplikasi REDD+ sebagai prioritas pembangunan. “Kabupaten Merangin, ditunjuk sebagai model untuk Sumatera Forest Carbon Partnership,” tulis Pjs Kadishut Provinsi Jambi, Ir Hafiz Husaini. Ekosistem Lembah Masurai di Kabupaten ini meliputi hutan produksi, hutan lindung, taman nasional maupun kawasan kelola rakyat.(jun)

Warga Sebapo tagih janji bupati


MUAROJAMBI—Warga tujuh RT di Desa Sebapo Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi menagih janji Bupati Muaro Jambi, H Burhanudin Mahir yang akan mengaspal jalan penghubung desa, sebelum masa jabatannya berakhir. Selain janji arus listrik bagi Desa Sebapo dan Pondok Meja yang hingga kini tak kunjung terealisasi..
Sutarno (55) warga Rt 13 Dusun Cempaka I kepada Media Jambi, Kamis (16/12) mengatakan, pengaspalan jalan hanya dibagian luar desa. Sedangkan warga di bagian dalam desa tetap dibiarkan. Sementara janji penerangan listrik hingga kini belum dilaksanakan. “Saat kampanye empat tahun dulu, dia berjanji mengaspal jalan dan memasang listrik. Tapi hingga kini kami masih gelap, dan jalan masih berlumpur,” ujarnya.
Selama ini, warga terpaksa menggunakan genset dan lampu minyak tanah. Meski penghasilan sebagai petani karet lumayan tingg, namun mereka tetap tidak bisa membeli peralatan elektronik. “Bukannya tidak mampu, tapi mau dicolok dimana,” tanya sutarno
Usulan maupun permohonan aspal hingga listrik sering dilakukan warga. Baik melalui surat maupun menemui langsung. Namun jawabannya masih banyak daerah terisolir yang lebih parah dari daerah ini. “Kami kecewa jika diperlakukan seperti ini dan kapok mengikuti pilkada. Kalau ada calon yang datang kami akan membuat kontrak politik,” tambah Tarno.
Senada, Muryati (35) warga Rt 07 Dusun Cempaka mengatakan, keinginannya memiliki alat elektronik terpaksa ditunda. “Saya sejak lama mendambakan jika pulang motong, dapat nonton TV, sebagai hiburan, atau ingin minum air es jika cuaca panas, tapi itu tidak kesampaian,” ujarnya.
Dia mengaku iri dengan warga yang tinggal dibagian depan, karena listrik telah tersambung dan jalan diaspal. Warga yang tinggal dibagian dalam jika malam hari tidak berani keluar karena gelap dan jika hari hujan jalannya licin. Padahal jarak antara desa ini dari Kota Jambi cukup dekat hanya 18 kilometer. “Nampaknya pemerintah kurang perhatian dengan warga, jika ada maunya janji-janji melulu,” katanya dengan nada kesal.
Menurut Muryati, jika jalan penghubung antara desa Sebapo dengan Desa Pondok Meja diaspal, maka arus lalulintas barang akan lancar. “Karet yang dihasilkan petani bisa dijual dengan harga tinggi, namun karena jalan rusak toke menekan harga karet dengan alasan ongkos angkut, karena jalan yang rusak. Beberapa waktu lalu kendaraan pengangkut karet terbalik di ruas jalan ini,” tukasnya.(mas)

Waspadai Pemutihan Lahan Lewat RTRW

MEDIAJAMBI — Adanya usulan alih fungsi kawasan dari kawasan Hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 120.813 hektar menimbulkan kecurigaan. Ditengarai, lahan tersebut diberikan pada beberapa perusahaan. Baik untuk konsesi perkebunan, HTI hingga pertambangan batubara dan migas.

Dalam presentasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi, beberapa waktu lalu, sekitar 120.839,04 hektar kawasan hutan akan dialihfungsikan menjadi APL. Masing-masing di Kabupaten Tanjab Timur seluas 15.269,10 hektar, Tanjab Barat 9.887 hektar, Batanghari 6.576,91 hektar, Muarojambi 10.354,69 hektar, Sarolangun 19.859 hektar, Merangin 24.520 hektar, Tebo 15.895,56 hektar dan Kabupaten Bungo 18.476,78 hektar.

Direktur CAPPA, Rivani Noor melihat, ada upaya pemutihan atas beberapa kawasan yang sebenarnya sudah dahulu dimanfaatkan perusahaan. Pelegalan atas aktivitas ini, kemudian diakomodir dengan pelepasan kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi.

“Inventarisir kami, ada beberapa perusahaan yang bakal memperoleh lahan setelah dilepaskan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur,” ujar Rivani, Rabu pekan lalu.

Perusahaan dimaksud, seperti perizinan yang diberikan pada PT SMP seluas 1.520 hektar dan Hutan Produksi PT WKS seluas 1.500 hektar. Ditempat lain, pelepasan areal juga diperuntukkan bagi PT CKT seluas 700 hektar dan PT Agrowiyana di Kabupaten Tanjab Barat. “Pertanyaannya, kenapa pelepasan kawasan tidak langsung diberikan kepada masyarakat. Ini modus perusahaan untuk menggantung petani, agar tidak lepas dari kontrol kemitraan dengan perusahaan,” tegas Rivani.

Dua alasan
Pada sebagian besar kawasan yang bakal dialihfungsikan, ada tiga alasan utama. Pertama, model transmigrasi lokal melibatkan perusahaan sebagai mitra. Model ini, menjadi tameng pemerintah untuk “membenarkan” usulan alih fungsi. “Semuanya untuk masyarakat, selalu itu yang jadi alasan. Padahal, hanya sebagian kecil lahan plasma yang dimitrakan. Sebagian besar justru untuk konsesi perkebunan kelapa sawit hingga HTI,” sambung Rivani.

Alasan kedua, kawasan itu sudah terlebih dahulu rusak. Karena kayunya sudah ditebang secara membabi buta oleh perusahaan. Untuk mengakomodir kondisi hutan yang ada agar dapat dimanfaatkan kembali, maka dilepaslah status kawasan dan perizinannya diberikan pada korporasi tertentu. “Lalu kayunya dulu kemana? Inikan sudah mengindikasikan korupsi yang diatur secara sistematis. Pemutihan, itu istilah yang lebih tepat,” ujarnya.

Beberapa rangkaian “pelanggaran” atas kawasan hutan, menurut Rivani terlihat dari keberadaan perkebunan kelapa sawit seluas 345 hektar milik instansi pemerintah di Hutan produksi. Keberadaan kebun sawit seluas 3.500 hektar milik perusahaan swasta. Puluhan konsesi batubara di Tebo diatas Hutan Produksi atas izin bupati. 2000 hektar sawit milik perusahaan swasta atas izin bupati Tanjab Timur serta pemukiman transmigrasi di Kabupaten Muarojambi di Kawasan Tahura.

Dikuasai Perusahaan
Dari total 5,192 juta hektar luas Provinsi Jambi, sekitar 60 persen dikontrol industri. Hutan Produksi, IUPHHK, HPH, perkebunan kelapa sawit dan tambang adalah industri yang dominan mengkontrol lahan di Provinsi Jambi. Akibatnya, hanya 40 persen yang diperebutkan 3,08 juta penduduk Jambi.
“Belum dikurangi alokasi untuk pertokoan, perkantoran, jalan dan sarana publik lainnya. Padahal, tak sedikit kawasan hutan dan lahan yang dikuasai industri tidak dimanfaatkan secara optimal, kerap kali kita mendengar dan melihat, satu kawasan hutan hanya dibalak kayunya saja oleh industri, kemudian setelah itu tidak ada upaya reboisasi ataupun pengelolaan sesuai dengan izin atas lahan tersebut. Situasi demikian, menjadi katalis produktif membangkitkan lapar tanah bagi rakyat,” jelas Rivani.

Rivani berikut beberapa LSM lingkungan lain berharap, Pemerintah lebih mengakomodir kepentingan publik atas lahan. “Yang terjadi saat ini, masyarakat Jambi masih Lapar lahan. Harus ada keberpihakan pemerintah untuk lebih mengakomodir kepentingan mereka,” harap Rivani.(jun)

Warga Muaro Pijoan Demo Pertamina


MUAROJAMBI—Puluhan warga Desa Muaro Pijoan Kecamatan Jambi Luar Kota melakukan aksi unjuk rasa, menuntut unit bisnis PT Pertamina melakukan pengaspalan jalan menuju desa mereka, Senin, (13/12) sekitar pukul 08.00 WIB.

Pantauan Media Jambi dilapangan, aksi yang berlangsung sekitar pukul 08.00 wib ini membuat para pegawai pertamina tidak masuk kerja. Sebab, mobil-mobil pribadi maupun mobil truk milik pertamina terhalang dengan diblokirnya ruas jalan dengan mendirikan tenda oleh warga.

Puluhan petugas kepolisian dibawah komando Kabag Ops Polres Muarojambi, AKP M.Ali, siaga melakukan pengawalan terhadap warga yang berorasi .

Warga menyebutkan sangat menderita dengan keadaan ruas jalan tanah di desa Muaro Pijoan yang tidak kunjung disentuh aspal. Setiap hujan turun, jalan tanah di desa itu berlumpur dan sangat sulit untuk dilintasi. Begitu pula saat musim kemarau, jalan berdebu menghambat penglihatan dan pernapasan.
Maka itu, warga sepakat menuntut PT.Pertamina yang berkantor di desa mereka , memberikan kompensasi. Selama ini, PT Pertamina tidak peduli dengan keadaan jalan desa. Padahal, setiap hari, mobil-mobil perusahaan rutin melintas diatas jalan itu. “Pertamina sudah puluhan tahun mengambil minyak di desa kami ini. Tapi, kami tidak pernah dapat apa-apa. Kali ini, kami meminta agar jalan kami diaspal. jika tidak, kami akan membolkir jalan ini selama seminggu,” kata Solihin, kordinator aksi.

Ditempat yang sama, Ketua Fraksi Nurani Rakyat DPRD Muarojambi Samsul Bahri mengatakan, sesuai kesepakatan pihak pertamina menyanggupi melakukan pengerasan ruas jalan sepanjang dua kilometer. Walaupun itu jalan pertamina, tapi dilewati masyarakat desa sebagai aktivitas sehari-hari. Sebenarnya Pertamina tidak ingin mengaspal dengan alasan mereka hanya dapat minyak 100 barel perbulan, artinya sedikit. Dengan di desak masyarakat, akhirnya menelorkan kesepakatan, Pertamina sanggup melaksanakan.
Hadir dalam pertemuan itu, Asisten Manejer Unit Bisnis area Jambi Hasanul Ashari dan Camat Jaluko, Dedi Susilo, anggota DPRD Muarojambi, Syafri Hasibuan bersama Ketua DPRD Muarojambi, Syahidan Alfajri.
Hasil pertemuan PT Pertamina sepakat akan mengaspal jalan Desa Muaro Pijoan tahun 2011 mendatang. Diawali dengan pengerasan dilajutkan pengaspalan. Setelah mendengar keputusan itu, warga menyatakan menerima dan selanjutnya membubarkan diri (boy)

Nelayan Pantai Timur “Gantung” Jaring

MUARASABAK— Tingginya ombak yang melanda kawasan pantai timur membuat para nelayan di wilayah Kabupaten Tanjung Barat dan Timur, menggantungkan jaringnya. Mereka tidak berani melaut karena ketinggian ombak saat ini bisa mencapai empat meter.

“Kami sudah satu bulan lebih libur melaut karena cuaca ekstrem dan tingginya gelombang," ujar Iwan (35), seorang nelayan di Kecamatan Muarasabak Timur Kabupaten Tanjabtim. Menurut dia, setiap akhir hingga awal tahun, iklim di laut sangat tidak bersahabat. Angin utara dan timur berhembus kencang menyebabkan tingginya gelombang air laut. “Biasanya cuaca mulai normal memasuki bulan Maret. Saat itulah kami bisa memulai lagi aktifitas mencari ikan di laut," katanya.

Sejumlah penyedia jasa penyebrangan di kawasan pantai timur Jambi juga mengakui hal itu. Imam, penyedia jasa penyeberangan di kawasan Muarasabak Timur mengatakan, sejak memasuki Desember para pengusaha selalu mengalami penurunan penghasilan akibat tingginya gelombang air laut.

“Hal seperti ini sudah sering kami alami. Selain banyak warga yang enggan bepergian, kapal yang biasa kami gunakan juga hanya bisa mengangkut beban tertentu saja. Jika terlalu berat beban akan berisiko tinggi," ujarnya

Waspada
Pelaksana tugas Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur, Hamzah mengatakan, ketinggian ombak mencapai empat meter akibat cuaca ekstreem yang biasa terjadi setiap akhir tahun. “Karenanya, seluruh nelayan waspada, termasuk pengguna jasa penyeberangan untuk libur sementara hingga gelombang laut normal,” ujar Hamzah, Kamis pekan lalu.
Pernyataan ini menyusul sebagian besar nelayan di Pantai Timur, baik di Kabupaten Tanjab Timur maupun Tanjab Barat adalah nelayan tradisional yang menggunakan kapal kecil dibawah 5 GT (gross ton).
Cuaca ekstrem menyebabkan timbulnya angin utara dengan kecepatan tinggi yang mengakibatkan tingginya gelombang air laut. Potensi tinggi gelombang biasanya terjadi antara awal bulan November hingga Maret. (mas)

Mereka Kalah di Laut Cina Selatan

BERSAING dengan ganasnya alam, ternyata belum mampu dilakukan sebagian besar nelayan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Tingginya gelombang, dan angin kencang yang sewaktu-waktu datang, membuat penghasilan melaut kadang tidak sebanding dengan ongkos berlayar. Apalagi, peralatan yang digunakan sebagian besar nelayan masih terbilang tradisional.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjab Barat, Zabur Roestam mengatakan, laut Cina Selatan merupakan samudera bebas bagi nelayan dari berbagai negara untuk menangkap ikan yang dekat dengan kawasan pantai timur Provinsi Jambi.

“Sayang, potensi besar komoditi perikanan di laut itu belum bisa dimanfaatkan secara optimal,” terang Zabur, Kamis pekan lalu. Bahkan, sering kali, nelayan Jambi kalah bertarung dalam menangkap ikan di laut cina selatan. Karena nelayan dari daerah lain, bahkan Negara tetangga menggunakan kapal tangkap berukuran diatas 30 GT (gross ton) dengan waktu jelajah laut mencapai dua minggu lebih.

Sedangkan di kabupaten ini, terdapat sekitar 1.100 lebih kapal dan alat tangkap nelayan. 80 persen diantaranya berukuran 5 GT ke bawah. Kapal dan alat tangkap jenis ini, hanya mampu mengarungi samudera di bawal 12 mil laut. “Itu pun dengan waktu dan jelah laut paling lama tiga hari,” tambahnya.

Beberapa nelayan lain, hanya memiliki kapal nelayan berukuran satu GT. yang mampu beroperasi di bibir pantai dengan waktu tangkap satu hari.

Pihaknya, lanjut Zabur—berupaya meningkatkan daya tarung nelayan pantai timur dengan nelayan luar daerah dan nelayan asing di Laut Cina Selatan dengan memberikan bantuan kapal dan alat tangkap di atas 30 GT.

Pada 2010 Kementrian Kelautan dan Perikanan telah memberikan satu unit kapal dan alat tangkap di atas 30 GT, dan pada 2011 akan ditambah lagi empat unit. Saat ini ada sekitar 15 unit kapal dan alat tangkap di atas 30 GT milik perorangan dan pemerintah yang berperasi di laut Cina Selatan, namun itu dinilai masih kurang.

Kapal milik pemerintah itu tidak diberikan pada nelayan, namun dioperasikan dengan sistem sewa, seperti kendaraan angkutan taksi, kelompok nelayan membayar uang setoran pada pemerintah sesuai kesepakatan.

“Sebelum melaut, kelompok nelayan yang akan menggunakan kapal dan alat tangkap itu lebih dulu dilatih, karena kecanggihannya perlu ketrampilan untuk mengoperasikannnya," kata Zabur Roestam.(mas)