Senin, 20 Desember 2010

Nelayan Pantai Timur “Gantung” Jaring

MUARASABAK— Tingginya ombak yang melanda kawasan pantai timur membuat para nelayan di wilayah Kabupaten Tanjung Barat dan Timur, menggantungkan jaringnya. Mereka tidak berani melaut karena ketinggian ombak saat ini bisa mencapai empat meter.

“Kami sudah satu bulan lebih libur melaut karena cuaca ekstrem dan tingginya gelombang," ujar Iwan (35), seorang nelayan di Kecamatan Muarasabak Timur Kabupaten Tanjabtim. Menurut dia, setiap akhir hingga awal tahun, iklim di laut sangat tidak bersahabat. Angin utara dan timur berhembus kencang menyebabkan tingginya gelombang air laut. “Biasanya cuaca mulai normal memasuki bulan Maret. Saat itulah kami bisa memulai lagi aktifitas mencari ikan di laut," katanya.

Sejumlah penyedia jasa penyebrangan di kawasan pantai timur Jambi juga mengakui hal itu. Imam, penyedia jasa penyeberangan di kawasan Muarasabak Timur mengatakan, sejak memasuki Desember para pengusaha selalu mengalami penurunan penghasilan akibat tingginya gelombang air laut.

“Hal seperti ini sudah sering kami alami. Selain banyak warga yang enggan bepergian, kapal yang biasa kami gunakan juga hanya bisa mengangkut beban tertentu saja. Jika terlalu berat beban akan berisiko tinggi," ujarnya

Waspada
Pelaksana tugas Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur, Hamzah mengatakan, ketinggian ombak mencapai empat meter akibat cuaca ekstreem yang biasa terjadi setiap akhir tahun. “Karenanya, seluruh nelayan waspada, termasuk pengguna jasa penyeberangan untuk libur sementara hingga gelombang laut normal,” ujar Hamzah, Kamis pekan lalu.
Pernyataan ini menyusul sebagian besar nelayan di Pantai Timur, baik di Kabupaten Tanjab Timur maupun Tanjab Barat adalah nelayan tradisional yang menggunakan kapal kecil dibawah 5 GT (gross ton).
Cuaca ekstrem menyebabkan timbulnya angin utara dengan kecepatan tinggi yang mengakibatkan tingginya gelombang air laut. Potensi tinggi gelombang biasanya terjadi antara awal bulan November hingga Maret. (mas)

Mereka Kalah di Laut Cina Selatan

BERSAING dengan ganasnya alam, ternyata belum mampu dilakukan sebagian besar nelayan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Tingginya gelombang, dan angin kencang yang sewaktu-waktu datang, membuat penghasilan melaut kadang tidak sebanding dengan ongkos berlayar. Apalagi, peralatan yang digunakan sebagian besar nelayan masih terbilang tradisional.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjab Barat, Zabur Roestam mengatakan, laut Cina Selatan merupakan samudera bebas bagi nelayan dari berbagai negara untuk menangkap ikan yang dekat dengan kawasan pantai timur Provinsi Jambi.

“Sayang, potensi besar komoditi perikanan di laut itu belum bisa dimanfaatkan secara optimal,” terang Zabur, Kamis pekan lalu. Bahkan, sering kali, nelayan Jambi kalah bertarung dalam menangkap ikan di laut cina selatan. Karena nelayan dari daerah lain, bahkan Negara tetangga menggunakan kapal tangkap berukuran diatas 30 GT (gross ton) dengan waktu jelajah laut mencapai dua minggu lebih.

Sedangkan di kabupaten ini, terdapat sekitar 1.100 lebih kapal dan alat tangkap nelayan. 80 persen diantaranya berukuran 5 GT ke bawah. Kapal dan alat tangkap jenis ini, hanya mampu mengarungi samudera di bawal 12 mil laut. “Itu pun dengan waktu dan jelah laut paling lama tiga hari,” tambahnya.

Beberapa nelayan lain, hanya memiliki kapal nelayan berukuran satu GT. yang mampu beroperasi di bibir pantai dengan waktu tangkap satu hari.

Pihaknya, lanjut Zabur—berupaya meningkatkan daya tarung nelayan pantai timur dengan nelayan luar daerah dan nelayan asing di Laut Cina Selatan dengan memberikan bantuan kapal dan alat tangkap di atas 30 GT.

Pada 2010 Kementrian Kelautan dan Perikanan telah memberikan satu unit kapal dan alat tangkap di atas 30 GT, dan pada 2011 akan ditambah lagi empat unit. Saat ini ada sekitar 15 unit kapal dan alat tangkap di atas 30 GT milik perorangan dan pemerintah yang berperasi di laut Cina Selatan, namun itu dinilai masih kurang.

Kapal milik pemerintah itu tidak diberikan pada nelayan, namun dioperasikan dengan sistem sewa, seperti kendaraan angkutan taksi, kelompok nelayan membayar uang setoran pada pemerintah sesuai kesepakatan.

“Sebelum melaut, kelompok nelayan yang akan menggunakan kapal dan alat tangkap itu lebih dulu dilatih, karena kecanggihannya perlu ketrampilan untuk mengoperasikannnya," kata Zabur Roestam.(mas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar