Minggu, 14 November 2010

Konflik Petani Vs WKS


Akibat Pemetaan Diatas Meja?

Media Jambi - Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Jambi, H Daraqutni Dahlan mengatakan, persoalan petani dan PT WKS terjadi akibat pemetaan wilayah hanya diatas meja. “Tidak melihat fakta sesungguhnya, bahwa diatas tanah itu sudah ada rakyat yang bermukim jauh sebelum izin perusahaan diberikan,” tukas mantan Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jambi itu.

Pemerintah Provinsi, dituntut mengevaluasi menyeluruh perizinan yang diberikan, termasuk cepat tanggap pada persoalan. “Jika tidak, akan muncul korban-korban baru,” ungkapnya.

Menyitir Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, Daraqutni menyebutkan tanah dan air dipergunakan sepenuh-penuhnya untuk kemakmuran rakyat. Filosofis ini harus benar-benar dipahami Pemerintah. Faktanya, rakyat justru tergusur diatas tanah sendiri karena izin yang diberikan pada satu korporasi.

Dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 disebutkan pula, luas maksimal Hak Pengusahaan Hutan untuk satu propinsi maksimal seluas 100.000 hektar. Ini termasuk induk dan anak perusahaan.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Arif Munandar mengatakan, HTI Eksisting PT Wirakarya Sakti seluas 293.812. ”Hingga tahun 2010, Sinar Mas Group mendapat rekomendasi Gubernur Jambi seluas 432.667 ha dan rencana take over 104.927 hektar,” tambahnya.

Dukungan LSM
Sebanyak 15 organisasi yang tergabung dalam Gerakan Pecinta Manusia (GPM) menyatakan dukungan penuh dan sebentuk keprihatinan atas musibah yang terjadi di Senyerang Kabupaten Tanjab Barat.

Juru Bicara GPM, Rivani Noor mengatakan, kekerasan yang terjadi adalah buah dari peraturan yagn tidak berpihak pada rakyat. “Hasil dialog dan investigasi, ada kesimpangsiuran peruntukan kawasan dan fakta pemanfaatan historis milik masyarakat yang diabaikan,” ujar Rivani.

Perubahan status dari APL (Areal Penggunaan Lain) menjadi HP (Hutan Produksi) seperti di Senyerang, menurut Rivani justru menimbulkan persoalan baru. “Ini bukti, buruknya birokrasi penataan ruang. Orienasi pejabat negara yang mengedepankan kekuasaan daripada memikirkan keselamatan warga,” sambungnya.

Lima hal menjadi tuntutan utama GPM. Diantaranya menghentikan prakek represif dan kekerasan terhadap kaum tani. Menarik aparat kepolisian dari kawasan konflik. Menolak pendekatan kekerasan dalam penanganan konflik. “Boikot produk kehutanan Sinar Mas karena sarat dengan kasus kekerasan dan perbaiki tata kelola kawasan kehutanan,” tegas Rivani.(jun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar