Senin, 21 Juni 2010

Petani Tuntut Lahan Garapan


MEDIAJAMBI—Ribuan petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia Provinsi Jambi, menuntut lahan garapan di empat kabupaten. Masing-masing kabupaten Muarojambi, Batanghari, Tanjab Timur dan Merangin. SPI juga menolak skema perdagangan karbon yang diyakini akan menyingkirkan petani dari areal garapan mereka selama ini.

Ketua DPW SPI Jambi, Sawadi mengatakan, pihaknya tengah melakukan sejumlah diskusi untuk menolak rencana perdagangan karbon. Bentuk nyata penolakan dilakukan berupa aksi perebutan lahan di lapangan. “Karena areal menjadi pilot project REDD sebagian besar sudah dikuasai, dikelola dan dijadikan areal pertanian oleh masyarakat,” kata Sawadi Kamis (17/6) lalu.

Skema REDD, menurutnya hanya ketidakadilan sistem perdagangan yang lebih mengakomodir sistem perekonomian kapitalis. Sejauh ini, sekitar 15 ribu hektar lahan di eks HPH Asialog sudah berhasil direbut petani. Termasuk 7.200 hektar lain di Mandiangin.

Selanjutnya, lahan diberikan pada petani seluas dua hektar per kepala keluarga. Hanya saja, Sawadi belum memiliki data base jumlah dan sebaran petani yang memperoleh lahan. Pola pembagian lahan dilaksanakan perwakilan serikat petani di tiap-tiap kabupaten.

Menurut Sawadi, tuntutan dan keinginan petani memiliki lahan tidak permah diakomodir pemerintah. Bahkan, mereka kerap diintimidasi dan ditakut-takuti selama aksi berlangsung. “Pemerintah hanya mengejar keuntungan semata. Tanpa mempedulikan apa yang terjadi di satu daerah apalagi menyangkut kebutuhan petani. Mereka ingin dianggap seolah-olah pro lingkungan dan pro investasi,” katanya menyindir gencar-gencarnya pembicaraan skema REDD di Jambi.

Penerapan skema REDD belum bisa dilakukan di Jambi. Karena fakta lapangan menunjukkan, areal yang dijadikan pencadangan program sudah diolah dan dikuasai masyarakat. “Pemetaan hanya diatas kertas. Siapa yang berani menjamin bahwa diatas lahan yang dijadikan pilot project perdagangan karbon kosong,” tantang Sawadi.

Dia mendukung jika pemerintah mencabut atau mengambil lahan yang telah diberikan pada perusahaan. Selanjutnya diberikan pada petani untuk diolah menjadi areal garapan untuk perkebunan dan tanaman palawija. Namun menolak tegas jika program REDD dilaksanakan diatas lahan yang sudah diolah petani. Karena bagi rakyat kecil, lahan menjadi modal hidup sehari-hari. “Biarkan mereka hidup diatas lahan yang sudah diolah selama ini. Pemerintah kemudian memberi perlindungan dengan cara mengatur peruntukannya,” katanya.

Ajukan ke Gubernur
Sementara ketua Persatuan Petani Jambi (PPJ), Aidil Putra kepada Media Jambi mengatakan, PPJ tengah menunggu keputusan gubernur terkait verifikasi di lapangan untuk menuntaskan konflik antara PPJ dan PT Wira Karya Sakti.

Verifikasi lapangan menunjukkan, ada bukti temuan penggusuran, bukti sisa penggusuran, bukti ada masyarakat, perkampungan dan fasilitas umum yang telah bermukim terlebih dahulu didalam konsesi PT WKS. “Masyarakat atau petani tidak berada di areal WKS. Tetapi izin konsesi PT WKS yang masuk ke pemukiman dan areal kebun penduduk,” kata Aidil.

Kesepakatan bersama antara petani dan Pemerintah Provinsi Jambi menyebutkan, keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik mengedepankan hati nurani. “Berarti tidak bicara masalah hukum. Kalau mencari legalitas di dalam hutan, siapa yang berhak,“ kata Aidil.

Saat ini, dia dan ribuan petani lain tengah menunggu keputusan Gubernur Jambi. Selanjutnya dibawa ke Menteri untuk memberi keputusan akhir.(boy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar