Selasa, 17 Agustus 2010

Deforestasi Hutan Mengkhawatirkan

MEDIAJAMBI — Laju kerusakan (deforesty) hutan di Provinsi Jambi sangat mengkhawatirkan. Tidak saja merusak kelestarian alam dan ekosistem, juga mengancam kehidupan orang rimba dan satwa liar yang dilindungi. Dari 2,1 juta hektar kawasan hutan, dipastikan tutupan hutan tersisa tidak mencapai 50 persen. Akibat peralihan beberapa kawasan hutan menjadi tanaman monokultur, HTI dan sejumlah peruntukan lain.
Fakta ini terungkap pada Lokakarya Jurnalis yang digelar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) bekerjasama dengan Unesco di Hotel Abadi Suite, Senin (9/8) lalu. Beberapa kondisi lingkungan diungkap dua narasumber. Dr Armi Susandi, Dosen Program Studi Meteorologi ITB sekaligus anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif KKI Warsi.
“Ancaman terbesar perubahan iklim, 17 ribu pulau akan hilang pada tahun 2100 mendatang,” ujar Armi. Pulau ini, hanya pulau yang sudah memiliki nama. Ribuan pulau tak bernama dipastikan mengalami nasib yang sama.
Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi komunitas dan penghuni bumi. Menumpuknya karbon dilapisan udara akibat aktivitas manusia menyebabkan suhu muka bumi menjadi panas. Beberapa aktivitas diantaranya penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi (kerusakan) hutan sebagai tempat menyimpan karbon dan berbagai aktivitas lain.
Pemerintah daerah harus ambil bagian dari kebijakan nasional mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui beberapa kebijakan yang ditelurkan.Diantaranya moratorium (penghentian) izin pembukaan lahan. Baik untuk konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan monokultur dalam skala besar.
Sementara Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rakhmat Hidayat memaparkan sejumlah kerusakan hutan yang terjadi di Provinsi Jambi. Dalam kesepakatan Letter of intens (LoI) Indonesia – Norwegia— disepakati Indonesia akan melakukan moratorium perizinan dikawasan hutan alam dan kawasan gambut yang akan dimulai tahun 2011 mendatang.
“Batasan hingga tahun 2011 memberi waktu bagi perusahaan memperoleh izin sebelum Januari 2011. Seperti kejar target izin jadinya,” tukas Rakhmat. Di Jambi, beberapa perizinan Eks HPH telah dikembalikan ke Pemerintah. Seperti eks PT Injabsin, Serestra II, Rimba Karya Indah, Bina Lestari, Hatma Hutani dengan total luas mencapai329 hektar. Di kawasan Taman Nasional Bukit Tigabelas, ratusan orang rimba terancam akibat konsesi yang diberikan pada PT Lestari Asri Jaya. Termasuk ancaman kepunahan bagi ratusan hewan dan spesies langka yang dilindungi.
Selain itu, terdapat kawasan yang dicadangkan untuk HTI, yaitu Rimba Hutani Mas dan Duta Alam Makmur dengan luas 135.6575 hektar. “Jika eks HPH dan pencadangan HTI tetap dipertahankan sebagai hutan, tentu masuk dalam skema moratorium Indonesia-Norwegia. Tentu lain persoalannya jika perizinan di kawasan ini berlanjut dan hutan alampun beralih fungsi menjadi HTI dan peruntukan lain,” urai Rakhmat. Beberapa skema ditawarkan Rakhmat. Diantaranya pengakuan hak kelola masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan. Berikut dukungan proaktif dari pemerintah di berbagai level untuk memberdayakan masyarakat, melakukan pembinaan berkelanjutan dan mensejahterakan masayrakat. “Pemerintah harus tegas mengatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, baik Provinsi maupun kabupaten/kota terkait peruntukan lahan untuk pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tegasnya.
Pemerintah daerah, diminta turut mendukung sejumlah program daerah yang bermuara perlindungan kawasan hutan tersisa. Karena tidak saja bermanfaat bagi ekosistem, sekaligus meminimalisir konflik yang terus bertambah di Provinsi Jambi.
(jun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar