Selasa, 10 Agustus 2010

Greenpeace Tuding Pemprov Lalai

MEDIA JAMBI - Pemerintah Provinsi Jambi dinilai lalai menjaga dan melestarikan kawasan hutan tersisa. Terbukti dari laju ekspansi tanaman monokultur di beberapa kawasan lindung dan penyangga taman nasional. Selain merusak alam, ekspansi izin kerap menimbulkan masalah tenurial berkepanjangan di tengah masyarakat.
Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara, Hikmat Soeriatanuwijaya kepada Media Jambi, Sabtu (7/8) mengatakan, beberapa Izin Usaha Pengelolaan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) kayu kerap merugikan masyarakat. “Saya ke Pemayungan Tebo, disana bisa dikatakan, perusahaan telah mencaplok tanah dan rumah masyarakat,” ujar Hikmat.
Hanya saja, ketika masyarakat komplain ke perusahaan, dijawab bahwa izin yang diterima dari pemerintah memasuki wilayah desa berpenduduk. “Proses pemberian izin banyak bermasalah. Ada kekurangcermatan mengawal tahap dan proses hingga rekomendasi dikeluarkan Pemerintah Provinsi,” tukasnya.
Contoh lain, Peraturan Presiden menyebutkan gambut dengan kedalaman diatas tiga meter tidak boleh ditanami. Namun pada prakteknya, lahan gambut hingga kedalaman 10 meter tetap ditanami. “Jadi pertanyaannya, kenapa perusahaan tetap dapat izin,” tanya Hikmat.
Permasalahan paling krusial, lanjut Hikmat—ada pada proses Amdal. Dokumen lingkungan ini harus dimiliki perusahaan sebelum memperoleh izin. Tapi pada prakteknya, Amdal dengan mudah bisa diperoleh perusahaan. Bahkan tak jarang, banyak izin usaha yang tidak dilengkapi dokumen Amdal.
Dinas kehutanan dan Pemerintah Provinsi harus tegas menegakkan aturan terkait perizinan. “Kita cukup prihatin melihat banyaknya izin yang bermasalah. Dua instansi yang kita andalkan untuk menjaga lingkungan kita, justru ikut andil dalam kerusakan lingkungan,” katanya.
Bentuk keprihatinan aktivis lingkungan dunia ini diwujudkan dalam bentuk membentangkan spanduk raksasa di areal konsesi PT Tebo Multi Agro (TMA), 5 Agustus lalu.
“Keberadaan Greenpeace di areal APP untuk mengekspos klaim palsu Asia Pulp and Paper bahwa mereka hanya mengembangkan hutan terdegradasi dan lahan gundul,” sambung Zulfahmi, Jurkam Greenpeace yang lain.
Dia menyerukan, Pemerintah Pusat termasuk Pemerintah Provinsi menghentikan sementara pembabatan hutan. “Konsesi baru untuk konversi hutan alam dan lahan gambut guna dijadikan perkebunan harus dihentikan. Industri, pasar dan sektor keuangan harus mendukung dengan memastikan mereka tidak lagi terlibat dalam perusakan hutan dan lahan gambut,” harap Zulfahmi.
Tidak hanya kerusakan alam, kegiatan beberapa perusahaan yang disebut-sebut berinduk ke APP ini juga mengancam kehidupan orang Rimba. Robert Tambunan, Manager Program KKI Warsi mengatakan, sekitar 500 Orang Rimba tinggal di hutan Bukit Tigapuluh. “Mereka berada dalam bahaya karena hutan tempat mereka tinggal dan menjadi sumber penghidupan terus dihancurkan. Untuk melindungi keanekaragaman hayati,” kata Robert.(jun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar